PENDIDIKAN JARAK JAUH
Pertumbuhan penduduk yang meningkat dari perkembangan ekonomi serta teknologi, membawa dampak perubahan dalam pendidikan diseluruh dunia termasuk Indonesia. Contoh inovasi yang mengiringi perubahan tersebut adalah dengan dibukanya kelas internasional, dibukanya cabang institusi besar dibeberapa Negara, diversifikasi bidang ilmu yang diselenggarakan sesuai minat komunitas local, dll.
Apapun bentuk program yang diselenggarakan, rakyat utama agar program-program tersebut memenuhi kebutuhan/selera pasar adalah masalah ketersediaan dan kemudahan akses. Namun hal ini bukanlah tanpa kendala. Kendala terbesar adalah masalah biaya sebagai contoh pasar disuatu tempat membutuhkan adanya program studi tertentu misalnya teknologi informasi tetapi institusi pendidikan local tidak memiliki program tersebut. Biaya tinggi tersebut diakibatkan oleh komponen-komponen seperti sumber daya manusia yang harus didatangkan dari daerah lain, sarana prasarana, penyerapan teknologi (melalui pelatihan-pelatihan dll), perawatan/operasional dll.
Teknologi yang semakin pesat dan murah dapat dijadikan salah satu alternative solusi untuk pemecahan masalah di atas. Pada contoh diatas permasalah dapat diatasi dengan pendidkian jarak jauh dengan mengurangi frekuensi tatap muka. Hal ini pernah dilakukan di Indonesia melalui Universitas Terbuka, tetapi pada prakteknya program ini tidak terlepas dari kekurangan. Di sini akan dibahas apakah pendidkan jarak jauh dapat dijadikan alternative bagi pengembangan program pendidikan. Apakah pendidikan jarak jauh itu?
Banyak pemahaman tentang konsep pendidikan jarak jauh, diantaranya adalah sebagai berikut :
Sherry L dalam Issues in Distance Learning mengutippendapat Perraton (1988), Jonassen (1992), Keegan (1986), Garrison and Shale (1987), bahwa pendidikan jarak jauh (Distance Education/Distance Learning) adalah sebuah program pendidikan yang ditekankan pada terpisahnya antara pengajar/instruktur dengan siswa berdasarkan jarak dan waktu. Kontrol berjalannya program tersebut ada ditangan siswa daripada instruktur, tidak adanya kedekatan komunikasi antara pengajar/instruktur, yang diselenggarakan melalui media cetak atau beberapa bentuk teknologi.
Menurut De Anza College San Franscison oleh Wattkins (1993) pendidikan jarak jauh berarti proses belajar mengajar yang diadakan terpisah antara pengajar/instruktur dan siswa selama proses pengajaran. Mereka dihubungkan melalui media intruksional dan memungkinkan pendidikan tersebut diadakan melalui proses interaksi. Banyak jenis teknologi, beserta pendekatan dan tekniknya yang mungkin digunakan untuk menyelenggarakn proses belajar mengajar. Tatapmuka dapat saja dijadikan bagian dalam pendidikan jarak jauh. Umpan balik dapat langsung diterima (real time) atau ada penundaan masa waktu (non real time).
Berdasarkan kedua konsep tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan jarak jauh memiliki ciri sebagai berikut :
1. Jarak terpisah
2. Proses interaksi bermedia
3. Umpan baliknya langsung/tertunda (real time/non real time)
4. Kemandirian siswa tinggi
Tim pendukung kesuksesan program jarak jauh tampaknya perbedaan antara pendidikan jarak jauh dengan program pendidikan yang biasa diselenggarakan (tatap muka) adalah maslah jarak/kedekatan. Namun disamping cirri, ada filosofi yang perlu dipahami dan diterapkan dalam pendidiakn jarak jauh ini yaitu model instruksional bukan hanya cara informasi dikomunikasikan kepada siswa, tetapi yang terlebih penting adalah bagaimana siswa dapat menyerap serta mengembangkan pengetahuan baru dari informasi-informasi yang disampaikan. Filosofi tersebut memiliki konsekuensi logis bahwa sebuah program pendidikan jarak jauh harus dikelola secara serius (sama halnya dengan program pendidikan tatap muka) karena yang utama dalam program tersebut bukan hanya masalah pilihan teknologi/media apa yang digunakan. Sherry L mengutip pendapat Mc Nabb (1994) bahwa keberhasilan program pendidikan jarak jauh melibatkan interaksi antara pengajar/instruktur dan siswa, antara siswa dengan lingkungan belajar, antara siswa dengan dirinya sendiri seperti halnya belajar aktif dalam kelas.
Untuk mendukung keberhasilan program, perlu diterapkan langkah proses pengembangan mulai dari mendesain system, pengembangan, evaluasi dan revisi. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalm proses pengembangan ini adalah pengembangan tujuan, kebutuhan, karakteristik dosen dan siswa, pokok pengajaran yang diperlukan dan kendala teknis. Revisi harus selalu dilakukan berdasarkan masukan dari instruktur, narasumber/pakar ilmu tertentu dan masukan dari siswa. Hal ini dilakukan terus menerus sehingga program yang dilakukan tetap berada dijalurnya dan relevan. Tampak jelas bahwa keberhasilan program ini sangat diperlukan semua pihak yaitu pengajar, Fasilitator dan siswa itu sendiri. Dukungan dari pihak pengajar. Pengajar sebagai narasumber dalam program pengajaran pendidikan jarak jauh ini diharapkan memiliki pengalaman dalam bidang ilmu dan secara fungsional memadai, memiliki kompetensi dalam bidang ilmu yang diajarkan, sudah dilatih untuk program jarak jauh yang efektif, bertanggung jawab pada pengembangan materi kuliah/belajar, menyiapkan rencana belajar, memproduksi media dan sumber belajar, memilih materi pendukung menyampaikan pengajaran secara efektif, menentukan frekuensi tatap muka serta menentukan cara dan bentuk evaluasi/penilaian.
Dapat dilihat bahwa pengajar pada program ini seharusnya memiliki kemampuan mengorganisir yang lebih baik dari pada pengajar biasa, syarat utama yang perlu diperhatikan adalah kemampuannya dalam penguasaan teknologi komunikasi dan informasi serta kemampuan presentasi. Oleh karena itu konsekuensi bagi institusi pendidikan tinggi yang ingin membuka program ini harus mempertimbangkan program pelatihan bagi pengajar-pengajar dalam upaya memenuhi persyaratan diatas.
Schlosser & Anderson (1993) dalam Sherry L dalam Issues in Distance Learning mengidentifikasi bahwa beberapa keterampilan baru yang harus dimilki para pengajar jarak jauh adalah : memahami filosofi pendidikan jarak jauh, identifikasi karakteristik siswa, mendesain dan mengembangkan bahan-bahan studi interaktif yang mudah diakses orang (menguasai berbagai macam teknologi sehingga dapat menjangkau segala kemampuan jenis kemampuan siswa), mampu mengadaptasi strategi pengajaran jarak jauh, mampu mengorganisir sumber belajar dalam suatu format yang cocok untuk belajar mandiri, terlatih dalam menggunakan system informasi dan telekomunikasi, terlibat dalam organisasi kampus termasuk dalam perencanaan dan pengambilan keputusan (secara akademik), mampu mengevaluasi siswa tidak hanya pencapaian secara kognisi saja tetapi samapi ke tingkat afeksi, memiliki pengetahuan tentang hak cipta.
Sherry L dalam Issues in Distance Learning Schlosser & Anderson (1994) yang mengemukakan bahwa secara umum seorang fasilitator minimal adalah lulusan sarjana dari bidang ilmunya, dapat juga seorang pengajar pemula (asisten ahli) atau seorang staff biasa dengan pengalaman kerja memadai yang memiliki penguasaan teknologi informasi dan komunikasi, fasilitator dipilih karena latar belakang pendidikan, ketersediaan waktu , memiliki kemampuan belajar.
Sebagai peserta aktif dalam proses belajar mengajar, perilaku siswa juga harus mengubah perilaku dan pandangannya tentang belajar sebagai siswa jarak jauh dibandingkan dengan pandangan dan perilakunya sebagai siswa dalam program biasa. Mereka harus mampu dan mau menerima instruksi pengajaran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan salomon (1990), ditemukan bahwa usaha mental dimana seorang siswa terlibat dalam proses belajar tergantung pada persepsinya terhadap factor media dan pesan serta kemampuan untuk menyimpulkan sesuatu,
Dukungan siswa alasna memilih pendidikan jarak jauh adalah karena kesibukannya serta ketersediaan program sehingga mereka tidak dapat datang ke kampus secara regular. Ada juga yang tertarik dengan program ini karena alas an kemandirian, mereka menikmati belajar secara mandiri yang menjadikan mereka lebih termotivasi dan memiliki kemampuan belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar