Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) semester5


Written by dr.Purboyo Solek,Sp.A(K)   
Tuesday, 17 August 2010 00:00
Hubungan anatara prilaku dan potensi akademik seorang anak, sering luput dari “pandangan” orang tua,   masyarakat dan  bahkan   para   profesional ( pendidik, dokter umum, dokter spesialis anak, psikolog). Apa yang kemudian  diharapkan  oleh  mereka bahwa anak-anak dengan potensi akademik normal dan anak-anak dengan potensi  akademik jauh diatas rata-rata umurnya akan memiliki prilaku yang sama, pada  kenyataannya tidaklah demikian. Anak-anak dengan  potensi  akademik  diatas  rata-rata, apalagi jauh diatas rata-rata ternyata sebagian besar (>70%) justru memiliki prilaku yang  sulit untuk diatur.
Tidak mau diam, bergerak terus seperti tidak memiliki rasa capek,nampak tidak berkonsentrasi, menentang, jail, tidak disiplin, ceroboh dan grasa grusu  yang   kemudian membuat orang tua (dan gurunya) mempunyai anggapan sebagai anak yang  nakal, tidak punya atensi dan tidak dapat duduk diam menyelesaikan tugas yang diberikan padahal potensi akademik mereka berada diatas   rata-rata. Keadaan  ini  menyebabkan anak-anak ini terlihat sebagai anak yang bodoh, tidak berprestasi dan sulit untuk  dapat dikembangkan potensinya. Mereka, bisa jadi akan keluar dari satu  sekolah  ke sekolah-sekolah lainnya karena dianggap sebagai anak yang tidak berprestasi. Memnang sangat ironis, punya potensi akademik yang bagus tapi tidak dikenali oleh banyak orang. Hal ini dapat membuat anak  frustrasi dan tidak punya rasa percaya diri. Karena itu, penting sekali kita mengenali potensi anak yang mereka miliki itu dengan baik, dalam hal ini prilaku yang nampak dalam kesehariaan kehidupan anak dapat dijadikan suatu pegangan buat para profesional untuk menelusuri potensi yang dimiliki anak.
Mengoptimalkan potensi seorang anak akan dapat kita lakukan apabila kita mengenali keseluruhan faktor yang dapat mempengaruhi berkembangnya potensi anak tersebut. Dari sudut pandang perkembangan seorang anak, faktor yang mempengaruhi tersebut dapat terjadi sejak janin berada dalam kandungan dan  berakhirnya proses plastisitas otak. Prilaku, potensi anak, minat, bakat dan kreativitas seorang anak merupakan hal yang harus selalu dilihat dalam menangani permasalahan kesulitan belajar pada anak.Dalam bidang saraf anak, dikenal istilah yang disebut sebagai “dual-diagnosis”. Dual diagnosis merupakan diagnosis yang dibuat pada seorang anak yang menderita satu kelainan dan kemudian ternyata  memiliki beberapa gejala-gejala lain  yang dijumpai pada penderita tersebut dan mungkin merupakan satu kesatuan diagnosis atau merupakan diagnosis tersendiri. Contoh yang paling sederhana dari keadaan diatas adalah penderita retardasi mental.
Gradasi yang mungkin kita dapatkan pada seorang anak dengan retardasi mental demikian bervariasinya dan sangat sering kita dapatkan keadaan dimana anak dengan retardasi mental  dapat memperlihatkan gejala-gejala yang masuk kedalam kelompok “psychiatric disorder”, misalnya: didapatkannya perilaku: repetitiveself stimulating, self injurious, aggressive, pica. Keadaan yang menyertai ini kadangkala membuat  “kebingungan” dalam menegakkan diagnosisnya, apakah penderitanya merupakan penderita retardasi mental dengan  “co-exist” gejala-gejala lain atau penderita retardasi mental dan juga memang memiliki “psychiatric disorder” lainnya. Bentuk dual diagnosis merupakan suatu hal yang menurut hemat penulis sangat perlu kita pahami, karena  apabila kemudian kita berbicara tentang disfungsi perkembangan anak atau anak yang masuk kedalam kelompok ”children with disabilities”, maka tumpang tindih adanya gejala-gejala yang sama tetapi dengan diagnosis akhir yang berbeda tidak bisa dipungkiri akan banyak sekali kita jumpai  sehari-hari, khususnya bagi mereka yang berkecimpung dalam penanganan anak-anak berkebutuhan khusus ini, baik tenaga medis/para medis (dokter umum,dokter spesialis anak,dokter spesialis saraf anak, dokter ahli rehabilitasi medik, dokter spesialis telinga hidung tenggorok, dokter spesialis mata dll)  maupun tenaga non medis (pendidik) atau tenaga lain yang memang mempunyai perhatian khusus terhadap masalah ini, termasuk bagaimana kemungkinan pendidikan mereka dikemudian hari.
Pada makalah ini akan diuraikan tentang berbagai macam keadaan tentang anak-anak yang masuk kedalam kelompok berkebutuhan khusus (gejala dan diagnosisnya) dan bagaimana kemungkinan kehidupan mereka dikemudian hari , termasuk kemungkinan jenjang pendidikan yang seperti apa yang dapat mereka hadapi dipandang dari sudut penulis sebagai dokter akhli saraf anak berdasarkan pengalaman penulis dalam menghadapi dan menangani anak-anak yang masuk kedalam kelompok “children with disabilities” selama ini.

BAGAIMANA KEADAAN PENDIDIKAN ANAK-ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS  DI INDONESIA SAAT INI?
Penulis bukan ahli dibidang pendidikan, tetapi dalam waktu 4-5 tahun terakhir ini banyak hal yang berhubungan dengan pendidikan menjadi bagian yang penulis perhatikan dengan sangat seksama. Dalam jumlah yang cukup banyak,  penulis mendapatkan lebih kurang 350 anak yang diagnosisnya tegak sebagai penderita autis hanya dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini. Antara Januari sampai Agustus tahun 2004,  ada 45 kasus baru anak autis yang penulis dapatkan, umur penderita rata-rata dibawah 5 tahun dan ada yang sudah berumur diatas 15 tahun,  bahkan 33 tahun. Kalau mengacu pada angka kejadian anak autis 1 : 10.000 atau pada beberapa buku menyebutkan bahkan sampai 1 : 150, rasanya ini merupakan suatu hal yang sangat perlu menjadi pemikiran kita bersama, bagaimana kelanjutan kehidupan mereka termasuk pendidikan mereka?.
Belum lagi kalau kita kemudian berbicara tentang anak-anak lain yang masuk kedalam kelompok “children with disabilities” lainnya (Cerebral Palsy, Down Syndrome, Attention Deficit Hyperactivity Disorder, Learning Disabilities,  Anak-anak yang masuk kedalam kelompok Behavioural Problem, retardasi mental) atau bahkan anak yang disebut gifted, kesulitan belajar spesik (disleksi, disgrafi dan diskalkuli), semua anak-anak ini merupakan anak-anak yang berkebutuhan khusus dengan pendidikan yang tentunya ”sangat khusus” dan dengan “tenaga yang khusus” yang memang disediakan dan “dididik khusus” untuk memberikan pendidikan buat mereka. Jumlahnya?, tentunya akan sangat banyak. Menjadi pertanyaan, di mana mereka mendapat pendidikan selama ini ?.
Keadaan yang kita jumpai saat sekarang di Indonesia, khususnya di Bandung dalam pengamatan penulis sebagai dokter spesialis saraf anak, walaupun cukup banyak kita jumpai sekolah-sekolah yang memberi label dapat menangani pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, tetapi  dari  kunjungan yang penulis lakukan pada beberapa sekolah-sekolah tersebut, penulis menyimpulkan bahwa masih  banyak  hal yang harus kita  satu padukan, menyamakan persepsi antara sudut pandang medis (dalam hal ini, sudut pandang dokter spesialis saraf anak), psikologi, pendidik dan orang tua, kenapa orang tua?, orang tua merupakan bagian yang sangat penting untuk kita berikan pemahaman yang mendalam, karena tidak semua kasus anak yang berkebutuhan khusus ini nantinya akan dapat mengikuti jenjang pendidikan yang sama seperti anak normal, akan dapat masuk sekolah pada umur yang sama dengan anak normal atau mendapatkan pendidikan yang isi kurikulum dan metodenya sama dengan anak normal. Untuk para pendidik, terutama yang sehari-hari bekerja dalam memberikan pendidikan pada anak-anak yang berkebutuhan khusus ini, tentu harus sangat paham bahwa tidak semua anak  yang  hasil pemeriksaan test IQnya masuk kedalam kelompok anak dengan IQ yang rendah kemudian akan sama materi pelajaran yang diberikan  kepada mereka tanpa melihat aspek perilaku anak.

BEBERAPA CONTOH ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS:
1. Autisme
    Autisme merupakan kelainan perkembangan pada anak yang masuk kedalam kelompok Pervasive Developmental Disorder (PDD).  Kelainan lain yang  juga masuk dalam kelompok PPD adalah: PPD-NOS,Rett disorder, Asperger dan Childhood Developmental Disorder (CDD). Autisme ditandai dengan adanya  gangguan dalam hal komunikasi (verbal dan non verbal), gangguan interaksi sosial dan perilaku yang stereotipik dan aktifitas serta minat yang terbatas. Lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki dan sebagian besar penderitanya (75%) mempunyai IQ yang rendah (Low Functioning).  Sebagian penderita autis mempunyai perilaku hiperaktif dan sebagian lagi justru berperilaku sangat  pasif.  Tipe perilaku hiperaktif pada penderita autis sering menyebabkan salah diagnosis dengan penderita Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD).  Terapi yang dapat dilakukan pada penderita-penderita autis ini adalah: Behavioural Therapy, TEACH, PEC dan Inclusion. Sangat baik apabila terapi diberikan sejak anak berumur kurang dari 3 tahun dan sangat baik bila dikerjakan secara kontinyu, simultan, melibatkan berbagai disiplin ilmu (multi disiplin).
    PDD-NOS adalah bentuk atipikal autis, prognosisnya jauh lebih baik dibandingkan dengan penderita autis. Rett Disorder hanya didapatkan pada anak perempuan,  bersifat X-linked, gejala-gejalanya sangat mirip dengan penderita autis, tetapi penderita Rett berkembang normal sampai usia 16-18 bulan dan kemudian mengalami regresi dimana anak kemudian mengalami kehilangan kemampuan berbahasa, kemampuan motoriknya mengalami kemunduran, anak tidak berinteraksi sosial, memperlihatkan gejala-gejala yang khas pada tangannya berupa gerakan memilin, bertepuk tangan, memasukkan jari-jari tangan kemulut serta lingkaran kepala penderita lebih kecil dibandingkan dengan ukuran lingkaran kepala pada anak yang umurnya sama.  CDD dapat ditemukan pada anak laki-laki dan perempuan, anak berkembang normal dan kemudian pada usia sekitar 8 tahun mengalami regresi dengan perilaku yang mirip anak autis.

    2. Attention Deficit Hyperavtive Disorder (ADHD)
      Sangat penting untuk menentukan apakah anak yang duduk di bangku sekolah dasar bahkan sampai sekolah menengah atas adalah anak yang menderita ADHD.  Anak ADHD dapat memperlihatkan gejala : inatensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas.  Sebutan nakal untuk seorang anak dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan keluarga sehari-hari, termasuk “aturan-aturan” yang diberikan oleh orang tuanya dan faktor kebiasaan/kultur suatu daerah.  Anak yang dikatakan nakal menurut pandangan seorang guru mungkin akan berbeda apabila hal ini kita tanyakan pada kedua orang tuannya.  Sebaliknya, anak yang dikatakan nakal oleh kedua orang tuanya mungkin dengan observasi dan pemeriksaan menggunakan “tool” khusus untuk ADHD akan berbeda hasilnya.  Oleh karena itu, keterangan lengkap dari kedua orang tua anak, pengasuh, orang-orang disekitar anak (teman, tetangga, guru) menjadi sangat berharga dalam menentukan apakah anak yang kita hadapi ADHD atau bukan.  Kenapa hal ini penting?, sebagian besar penderita ADHD memiliki IQ rata-rata bahkan diantaranya ada yang memiliki IQ diatas rata-rata.
      Untuk anak-anak dengan perilaku hiperaktif seperti ini, apabila tidak dilakukan intervensi pemberian terapi farmakologi yang dikombinasi dengan terapi perilaku, maka potensi anak akan tertutup oleh perilaku hiperaktifnya.  Anak di sekolah mungkin akan tampak tidak mau diam, berpindah dari satu kursi ke kursi yang lain, mengganggu temannya yang sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, jail terhadap teman-temannya di dalam dan di luar sekolah, tidak mengerjakan tugas yang diberikan gurunya dan ini tentu menjadi keluhan guru pada orang tua anak.  Apabila anak-anak ADHD ini tidak mendapatkan terapi yang adekuat, anak di kemudian hari berkembang ke arah “kriminal”,  mengutil, mencuri, mencoba-coba narkoba, merusak properti, dan cenderung berkembang ke arah problem perilaku yang lain, yaitu : Conduct disorder (CD).

      3. Cerebral Palsy (CP)
        Kerusakan pada otak yang terjadi mungkin sejak janin berada dalam kandungan sampai dengan bayi berusia 2 tahun, dapat disebabkan oleh suatu infeksi janin dalam kandungan, kesulitan persalinan atau keadaan-keadaan post natal yang mengakibatkan terjadinya jejas pada otak dan dapat mengakibatkan keadaan yang disebutcerebral palsy (CP).  CP merupakan keadaan yang menyebabkan gangguan gerak motorik, dapat mengenai sebagian  atau keseluruhan anggota gerak tubuh.  Pada saat diagnosis CP ditegakkan, sebenarnya proses penyakit yang terjadi pada otak anak sudah berhenti dan yang kita lihat adalah akibat dari kerusakan otak tersebut.
        Pada anak yang menderita CP, dapat kita jumpai pula penyulit-penyulit yang menyertainya berupa  gangguan penglihatan, pendengaran, bicara, menelan, kejang, retardasi mental yang kalau keadaannya sangat berat, penderita dapat  terlihat mirip seperti penderita autis (autistic behaviour). Adapun penanganan penderita CP, melibatkan tidak hanya  dokter  spesialis saraf anak tetapi juga dokter spesialis rehabilitasi medik, dokter spesialis telinga-hidung-tenggorok, dokter  spesialis mata, terapis okupasi, terapis bicara, social worker yang termasuk kedalam Child Development Team Member.

        4. Retardasi Mental (RM).
          Retardasi mental merupakan gangguan yang sifatnya heterogen, dimana pada penderita kita dapatkan kemampuan fungsi intelektual yang berada di bawah rata-rata dan didapatkan adanya gangguan keterampilan adaptif, dijumpai pada seorang yang berumur kurang dari 18 tahun. Keadaan ini dapat disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan, psikososial, atau gabungan dari ketiganya. Menurut definisi dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV), retardasi mental merupakan keadaan dimana fungsi intelektual secara bermakna berada dibawah rata-rata yang menyebabkan atau berhubungan dengan gangguan pada perilaku adaptif dan bermanifestasi selama periode perkembangan, yaitu sebelum umur 18 tahun. F
          ungsi intelektual, dapat ditentukan dengan menggunakan tes-tes kecerdasan yang telah diakui, dimana istilahsecara bermakna dibawah rata-rata didefinisikan sebagai nilai kecerdasan atau IQ (Intelligence Quotient) ≤ 70. Sedangkan fungsi adaptif, dapat kita ukur dengan menggunakan skala Vineland Adaptive Behaviour Scale atauCheck List Behaviour Scale yang dapat menilai adanya gangguan komunikasi, sosialisasi, keterampilan motorik, dan keterampilan hidup sehari-hari. Klasifikasi Retardasi Mental berdasarkan DSM IV :
          -          Retardasi mental ringan: tingkat IQ 50-55 sampai kira-kira 70
          -          Retardasi mental sedang: tingkat IQ 35-40 sampai 50-55
          -          Retardasi mental berat: tingkat IQ 20-25- sampai 35-40
          -          Retardasi mental sangat berat: tingkat IQ dibawah 20 atau 25
          -          Retardasi mental, keparahan tidak ditentukan: jika terdapat kecurigaan kuat adanya retardasi mental tetapi intelegensi pasien tidak dapat diuji oleh tes intelegensi baku.
          Beberapa kelainan yang sering dijumpai dan penderitanya juga memiliki retardasi mental: sindroma Down, sindroma Fragile-X, sindroma Prader-Willi, sindroma cri-du-chat. Apabila retardasi mental yang kita jumpai pada seorang anak demikian berat, maka akan kita dapatkan gejala-gejala yang mirip dengan penderita autis (autistic behaviour).

          5. Conduct Disorder (CD)
            Anak dengan Conduct Disorder memperlihatkan gejala agresif, destruktif, dan melakukan perbuatan yang melanggar aturan/ norma-norma yang berlaku umum. Perilaku ini dilakukan berulang-ulang dengan pola menetap dan bisa disertai dengan letupan kemarahan, melakukan intimidasi, perkelahian, membakar, merusak properti, mencuri, dan membolos sekolah. Conduct Disorder pada seorang anak dapat berdiri tunggal atau merupakan co-exist dari ADHD, Oppositional Defiant Disorder (ODD), atau bagian dari retardasi mental. Kadang-kadang Conduct Disorder dapat terjadi pada seorang anak yang tidak dapat mengungkapkan dan mengontrol perasaan serta keinginannya, anak yang mengalami depresi, dan kecemasan. Oleh karena itu, penting untuk menetapkan apakah kasus Conduct Disorderco-exist dari kelainan perilaku lainnya. Kenapa? , hal ini ada kaitannya dengan bentuk intervensi yang akan kita lakukan pada seorang penderita.  Apabila intervensi tidak kita lakukan dalam keadaan dini, maka potensi anak mungkin akan tertutup oleh perilaku CD-nya. yang kita hadapi merupakan kasus tersendiri atau

            6. Gifted Child
              Kita sering membayangkan bahwa seorang anak dengan skor IQ yang tinggi adalah anak yang dapat dengan mudah menerima pelajaran di sekolah dan kemudian  menjadi anak yang senantiasa mempunyai prestasi belajar yang baik. Pada kenyataannya, justru anak-anak dengan skor IQ yang tinggi merupakan anak yang menjadi “masalah” oleh karena laporan yang kita dapatkan baik dari guru maupun orangtua anak berupa keluhan: anak tidak menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan gurunya, sangat hiperaktif, sering membuat suasana kelas terganggu, sering ceroboh, sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang kalau dijawab akan diikuti dengan pertanyaan lain, seolah-olah pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak ada habis-habisnya. Oleh karena itu, anak-anakgifted sebetulnya merupakan anak dengan kemampuan belajar yang tinggi tetapi “tidak mampu belajar”.
              Dalam keadaan sehari-hari, mungkin kita dapat membagi anak-anak gifted ini menjadi tiga kelompok: kelompok pertama, anak yang memang teridentifikasi sebagai anak yang gifted, di sekolah memiliki kesulitan belajar, tetapi kemampuan verbal anak sangat bagus. Kelompok kedua, tidak pernah teridentifikasi sebagai anak gifted dan disekolah kelompok ini juga memiliki kesulitan belajar. Hal ini dapat terjadi apabila ketidaktepatan dalam melakukan  pengukuran IQ yang dilakukan, menyebabkan terjadinya perkiraan yang salah terhadap kemampuan intelektual yang sebenarnya. Kelompok ketiga, tidak teridentifikasi sebagai anak gifted dan tidak ada kesulitan belajar, anak-anak ini tampak seperti anak-anak dengan prestasi rata-rata. Anak-anak yang masuk ke dalam kelompok ketiga ini, perlu mendapatkan stimulasi dari guru dengan situasi kelas yang memungkinkan penggunaan metode belajar yang kreatif. Kalau tidak diperhatikan dengan seksama, anak-anak kelompok ketiga ini merupakan kelompok yang paling sulit teridentifikasi.

              BAGAIMANA IMPLIKASINYA BAGI DUNIA PENDIDIKAN?
              Dalam berbagai kesempatan, penulis sering menyampaikan bahwa penting sekali untuk menetapkan diagnosis yang akurat pada anak yang berkebutuhan khusus ini. Apakah anak menderita autis saja, autis dengan perilaku hiperaktif, penderita retardasi mental dengan co-exist Conduct Disorder, ADHD, atau justru yang kita hadapi adalah anak gifted dengan keluhan hiperaktif. Penderita retardasi mental saja tanpa perilaku hiperaktif dan penderita autis yang low functioning, tentu sangat berbeda dalam penanganan pendidikannya. Low functioning autis jelas merupakan penderita dengan kelainan perkembangan yang kompleks. Outcome yang kita harapkan dari penderita seperti ini adalah kemandirian diri, sedangkan sisi akademik bukan tujuan utama. Oleh karena itu, apabila bentuk autis seperti ini menerima perlakuan pendidikan yang sama dengan penderita retardasi mental, tentu tahapan pendidikan yang akan kita berikan menjadi berbeda.
              Begitu pula, apabila kita mendapatkan kasus anak gifted yang masuk dalam kelompok pertama, harus dapat kita bedakan dengan anak ADHD. Masih banyak contoh-contoh kasus lainnya yang memperlihatkan gejala “tumpang-tindih”, misalnya: anak CP dengan perilaku autistik atau penderita autis dengan perilaku hiperaktif. Dari sudut pandang penulis sebagai dokter spesialis saraf anak, diperlukan persepsi yang sama antara pendidik, psikolog, orangtua, dan dokter spesialis saraf anaknya sendiri untuk merencanakan tahapan pendidikan apa yang sebaiknya diberikan kepada berbagai bentuk kasus-kasus anak berkebutuhan khusus. Tidak semua kasu akan dimulai dengan tahapan pendidikan yang sama, dan tidak semua kasus akan menghasilkan outcome yang sama karena hal ini bersifat sangat individual. Perlu ditekankan pada orangtua, tidak semua anak pada akhirnya akan mengikuti jenjang pendidikan akademik, tetapi yang paling penting adalah mengetahui potensi lain yang dimiliki anak diluar potensi akademiknya. Anak-anak yang masuk kedalam kelompok ini, kita harapkan dapat mandiri dan mengembangkan potensinya tadi secara optimal.

              KESIMPULAN
              Mengingat begitu beragamnya bentuk-bentuk kelainan yang masuk kedalam kelompok anak berkebutuhan khusus, dan belum adanya kesamaan persepsi tentang tahapan pendidikan dan outcome yang diharapkan pada anak-anak berkebutuhan khusus ini, antara pendidik, psikolog, dokter spesialis saraf anak, serta orangtua sebagai langkah awal perlu dilakukan kesepakatan terhadap diagnostik kasus yang akurat dan kemudian tahapan pendidikan yang akan diberikan pada mereka. Saat ini, sekolah-sekolah yang menangani anak-anak berkebutuhan khusus sebagian besar dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah dengan materi dan metode yang demikian beragam. Sangat kita harapkan pemerintah dalam hal ini Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah dapat menjembatani bahkan menjadi bagian terdepan dalam melakukan perencanaan pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus ini dibantu oleh para profesional dibidangnya berikut partisipasi masyarakat luas.